Ustadz Ismail Asso:Paradigma Konsep Pembangunan Jayawijaya Wamena Papua


Jakarta,metronewstv.com Pendahuluan Tulisan ini lahir karena sejatinya penulis Orang Asli Wamena Kabupaten Jayawijaya, sejak kecil habis lulus Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Merasugun Asso Walesi, tahun 1988 keluar meninggalkan Kota Wamena dan kembali lagi ke Wamena karena Orangtua saya meninggal dua bulan lalu. Dalam kunjungan kali ini saya melihat arah dan lebijakan pembangunan Jayawijaya tidak berakar dari Kebudayaan Suku Dani sendiri. 

Sejak puluhan tahun saya tinggalkan Kota Wamena keadaannya bukannya semakin maju dan pesat mengingat kucuran dana Otsus bernilai Milyaran rupiah, sebaliknya Kota Wamena wajah seluruh Kabupaten Jayawijaya semakin mundur, semua ruas jalan menuju Distrik Walesi tanpa aspal tanpa jembatan dibiarkan tetap seperti dulu. Keadaannya tetap sama seperti puluhan tahun saya tinggalkan Kota Wamena. 
Belakangan saya pelajari dan amati dari jarak dekat, ternyata hampir sebagian besar kalau bukan seluruh pejabat diinstansi pemerintahan Kabupaten Jayawijaya di Kota Wamena bukan Orang Wamena melainkan diinport (dibawa masuk) dari luar, tingkat partisipasi Orang Asli Wamena dalam pembangunan Jayawijaya selama beberapa dekade sebelum dan sesudah Otsus Papua keadaanya sama, sangat rendah. 

Padahal jumlah sarjana Orang Asli Wamena lulusan Universitas terbaik didalam dan diluar negeri dengan berbagai gelar S1-S3 Orang Wamena sangat banyak. Apalagi lulusan SMA dan sedejarat tapi hingga hari ini 20 tahun pasca UU Otsus Papua para sarjana Jayawijaya hanya menjadi penonton setia dan pengangguran sejati. Selama dua (2) bulan penulis tiba di Kota Wamena dari rantauan banyak hal aneh disini. Catatan ini sebagai pandangan pribadi setelah banyak menyaksikan keanehan itu.

Sesuai judul tulisan ini bahwa 
Paradigma Baru Konsep Pembangunan Jayawijaya Kedepan harus direkontruksi kembali ditata ulang. Karena itu disini penulis ingin menggagas pola pendekatan dan strategi pembangunan Jayawijaya kedepan dengan pendekatan baru dan lain dari yang sudah dan sedang berjalan. 

Tujuannya agar hasil pembangunan itu dapat dinikmati rakyat Jayawijaya seluruh secara seutuhnya sebagaimana hal itu menjadi tujuan utama dan pertama dari negara dan Pemerintah Pusat melalui kebijakan affirmative action. 

Ibarat petani membuat ladang kebun hopuru / hipere, UU Otsus adalah pagar dan isi dari Otsus adalah pelimpahan uang dan kewenangan pengelolaannya sesuai UU Otsus No. 25 yang mengatur soal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (Papua) dan Pemerintahan sendiri UU Otsus No. 21 tahun 2021 sebagai landasannya.

Maka paradigma baru dimaksudkan disini adalah mengubah cara pandang orang Jayawijaya dan itu lebih pada pemikiran. Cara pandang itu untuk semua utamanya harus dimiliki para pemimpin Jayawijaya kedepan dalam rangka merekontruksi (merancang) kembali konsep pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.

Demikian itu harus dirancang dari sekarang sedemikian rupa dan itu berasal dari dan itu diharapkan muncul dari Orang Wamena sendiri. Singkatnya konsep pemikiran dalam soal kebijakan keputusan apapun pembangunan harus berasal dari spirit Orang Jayawijaya sendiri sesuai amanat UU Otsus Papua.

A. Back to Bassice

Paradigma baru konsep pembangunan Papua secara umum dan Kabupaten Jayawijaya secara khusus titik tolak spiritnya harus muncul secara independent berasal dari dalam diri manusia Jayawijaya. Bukan berdasarkan spirit (semangat) nilai-nilai dari luar tapi apa yang dihayati rakyat Jayawijaya dahulu kini dan akan datang.  

Konsekwensi dari konsep pembangunan demikian adalah paradigma baru seluruh orang Wamena dan menjadi kesadaran semua jajaran pemerintahan (ASN) bahwa jabatan tinggi dan tertinggi hingga jabatan rendah hingga kebawah (tingkat Kampung) harus diisi dan didominasi (tapi bukan seluruhnya) oleh Orang Jayawijaya sendiri sesuai keinginan Pemerintah Pusat dengan di Undang-Undangkannya Otonomi Khusus Papua. Ini bukan berarti diskriminasi tapi ada hal lain yakni aspek kekhususan Papua sesuai spirit UU Otonomi Khusus dimaksud Pemerintah Pusat.

Dengan demikian seluruh keputusan kebijakan pembangunan menyangkut nasib hidup dan kehidupan orang Wamena di Kabupaten Jayawijaya sejatinya harus berasal dari dan didasarkan nilai jati diri orang Wamena. Karena itu pembangunan Jayawijaya diarahkan kesana agar disesuaikan dengan spirit atau semangat hidup berdasarkan nilai-nilai Adat Budaya Jayawijaya. 

Dan itu hanya bisa terwujud apabila seluruh jajaran pemerintahan diisi oleh Orang Wamena sendiri. Caranya seluruh jabatan penting dan terpenting mulai dari atas hingga kebawah dalam tatanan sistem birokrasi Jayawijaya harus dikembalikan kepada Orang Wamena dan itu wajib diisi oleh putera-puteri terbaik orang Jayawijaya sendiri betapapun minimnya profesionalisme orang Wamena dari cara pandang orang lain.

Inilah yang saya maksudkan dengan paradigma baru konsep Pembangunan Jayawijaya dan Papua seluruhnya kedepan agar supaya spirit pembangunan berasal dan didasari oleh nilai manusia Jayawijaya itu sendiri, karena memang nilai itu tidak harus dicari kemana tapi sudah ada dalam diri manusia Jayawijaya yang hidup dan masih dihayati, bukan berdasarkan nilai-nilai lain dan asing yang bukan berasal dari nilai utama temuan sendiri atau warisan leluhur dalam diri manusia Papua Kabupaten Jayawijaya. 

Bertolak dari konsep realisme Aristoteles, pembangunan Jayawijaya, kedepan harus diarahkan, bertitik tolak, berangkat menuju, dari nilai realitas hidup dan kehidupan manusia Papua di Kabupaten Jayawijaya itu sendiri. Titik tolak (awal) pembangunan berdasarkan spirit (semangat) berasal dari orang Wamena dan untuk manusia Jayawijaya sendiri. Bukan seperti Plato gurunya Aristoteles berangkat dari IDEA,hal yang tidak nyata (idea) misal dari spirit keagamaan yang baru dan asing dalam kebudayaan Asli Jayawijaya. 

Untuk itu kebijakan pembangunan Kabupaten Jayawijaya saat ini harus dirancang ulang sebagai koreksi dari kekeliruan (kesalahan) Bupati masa lalu yang mengasingkan budaya sendiri, hudaya Jayawijaya, menghadirkan budaya asing dalam Kota Wamena. Study kasus misal dengan membangun Patung Salib ditengah Kota Wamena menghabiskan uang rakyat bernilai trilyunan rupiah tapi tanpa makna significant bagi manusia Jayawijaya.

Karena sejatinya manusia Jayawijaya masih dalam proses penghayatan nilai-nilai lama dalam kesehariannya. Konsep pembangunan demikian adalah pola pembangunan masa kerajaan primitive dikenal masa kerajaan Islam Classic peninggalan Wali Songo (9 Wali) di Jawa. 

Konsep pembangunan sistem itu biasanya depan Istana ada alun-alun (tempat hiburan rakyat) sebelah utara mesjid. Pola classic masa kerjaan islam itu dilanjutkan oleh Presiden Indonesia pertama Soekarno dan Soeharto nampak depan Istana Presiden yang zaman kolonial Belanda ada hanya Taman Monas, kemudian Soekarno bangun sebelah utara Mesjid Istiqlal dan Katedral serta Gereja PGI. 

Mengadopsi konsep seperti itu tidak dilarang tapi sebagai dampaknya rakyat Jayawijaya terasingkan dari adat dan budaya sendiri, dampak buruknya rakyat teralienasi sampai batas tertentu rakyat devrivasion dan dislocation. Mereka hidup dan tinggal dikampung sendiri dengan nilai-nilai luhur dari warisan leluhur mereka sendiri tapi pemerintah datang mengasingkan mereka dari habitatnya “AN NEWE APUNI YOMA MEKE”, tapi diasingkan. Mereka dijauhkan dari adat budaya sendiri menjadi manusia aneh dalam diri mereka. 

Itu artinya pola pembangunan yang dilakukan sebelumnya meniru gaya asing dari konsep dan pola sistem pembangunan kerajaan Islam di Jawa. Bedanya di Wamena alun-alun depan Kantor Bupati pakai SALIB. Berarti pola pembangunan Bupati masa lalu (ketinggalan zaman) meniru gaya kerajaan Islam di Jawa dari warisan penyebar Islam di Pulau Jawa yaitu 9 Orang Wali (Walisongo). 

B. The Spirit of Jayawijaya

Semangat dan nilai pembangunan Jayawijaya bersumber dan berasal dari dalam diri rakyat (manusia) Jayawijaya dan semangat (spirit) itu harus berasal dari nilai-nilai utama (par exalance) warisan leluhur sebagai hasil kreatifitas temuan manusia suku Dani Jayawijaya sendiri. 

Nilai-nilai luhur warisan leluhur itu untuk kita Orang Asli Suku Dani Jayawijaya sama sekali sangat tidak sopan kalau kemudian dimuseumkan di Wesaput. Karena benda-benda “sacral” (palsu) disuruh kumpulkan para Orang Tua Suku Dani Jayawijaya -dengan cara sedikit memaksa- hanya memenuhi permintaan pihak yang mau mengilangkan jati diri manusia Papua berasal Jayawijaya beberapa waktu lalu (zaman Bupati JB Wenas) itu maksud dan tujuan mereka sesungguhnya mau ganti dengan nilai spirit bawaan mereka. Walau perlu digaris bawahi disini bahwa yang dipaksa kumpulkan itu berupa AP WAREK. 

Untuk itu tulisan ini memberi inspirasi bagi generasi muda Jayawijaya hari ini dan para pemimpin Papua secara umum bahwa nilai-nilai luhur warisan leluhur yang itu dapat ditranformasikan atau disesuaikan dengan perkembangan zaman kini dengan kegiatan karnaval. Ini berarti transformasi itu menyangkut kemampuan seorang Pemimpin Papua dan Jayawijaya khususnya seputar kreatifitas memodernisasi. 

Mengajak kembali menghidupkan nilai-nilai sejati manusia Papua Kabupaten Jayawijaya berarti bukan mau menghidupkan kembali perang Suku, sekali lagi bukan, tapi nilai itu ditransformasi dalam bentuk lain (diganti) dengan misalnya pembentukan Team Sepakbola antar konfederasi dan aliansi dimulai dari masing-masing Dusun dan Kampung sebagai induk moety dari klen, atau mengarahkan ke hal positif lain seperti juga Carnaval.

C. Dasar-Dasar Nilai Asli Adat Budaya Manusia Jayawijaya Papua.

Semua kebijakan keputusan arah dan tujuan titik tolak seluruhnya diarahkan kepada manusia Jayawijaya, menyangkut nilai filosofi manusia Papua itu sendiri bukan berdasarkan pengaruh asing dan baru dari luar diri manusia Jayawijaya Papua. 

Hal ini sangat penting mengingat Papua unik (berbeda) dari segi keanekaragaman adat, budaya, bahasa dan agama. Singkatnya dilihat dari aspek geografis, topografis, dan antrolologis serta secara sosilogis Papua memiliki sejarah masa lalu yang unik dalam Indonesia. Hal demikian diakui dalam Tap MPR RI tahun 1999.

Untuk itu sumbangan pemikiran dalam tulisan ini minimal semacam tawaran rancangan pemikiran baru alternative lain dari berbagai kebijakan pembangunan nasional melalui Bappenas RI yang selama ini sudah baik tapi dirasa belum menyentuh manfaatnya secara langsung keseluruh sasaran rencana Pembangunan Nasional khususnya bagi Jayawijaya dan seluruh rakyat Papua. Dalam teori pembangunan era Presiden Soeharto ada yang namanya pendekatan pembanguan Top Down dan Button Up. 

Yang lebih banyak sentuhan pembangunan sejauh ini diamati lebih pada Top Down (dari atas kebawah), bukan dari bawah keatas (Button Up) dalam arti rakyat bukan Papua sendiri bukan pelaku pembangunan sebagai subjek (pelaku pembangunan) tapi lebih banyak jadi penonton terasa sebagai obyek dari skala rencana Pembanguan nasional. 

Dampaknya rakyat Papua tidak lebih hanya sebagai penonton bukan pengambil inisitive keputusan membangun dirinya sendiri tapi seakan mereka dianggap bodoh malah dibodohi, orang Jayawijaya tidak bangun dirinya tapi mau dibangun dari atas kebawah (Top Down) oleh orang lain. 

Wajar kalau kemudian hampir seluruh Papua dari Propinsi Papua dan Papua Barat kepemilikan asset seluruh sektor swasta misalnya usaha restoran, Mall, Toko-toko, warung rokok, toserba, hotel-hotel dll seluruhnya dikuasai dan hanya dimiliki kaum pendatang (urban), sangat jarang bahkan mungkin sama sekali tidak ada selain kecuali orang Papua pribumi termarginalkan (terpinggirkan) berjualan pinang didepan Toko milik kaum pendatang, itupun hanya penjual musiman karena tak memiliki tempat usaha jualan permanen.

Mengapa hal ini sedang terjadi depan mata kita semua dan tidak ada satupun suatu gebrakan pola pembangunan oleh para pemimpin Papua? Bukankah Papua sudah Otonomi Khusus (Otsus) dalam arti kebijakan dan keputusan politik pembangunan Papua sudah ada ditangan orang Papua sendiri? Sehingga seluruh arah dan kebijakan pembangunan harus didasarkan pada rakyat Papua? 

2. Paradigma Pembangunan Jayawijaya dan Seluruh Papua Harus dievaluasi Total 

Pembangunan Jayawijaya dan seluruh Papua kedepan harus Kembali Dari dan Oleh Manusia Papua demikian Kabupaten Jayawijaya harus dimulai oleh orang Wamena, untuk Orang Wamena Sendiri dan kepada Manusia Wamena sendiri. 

Gagasan ini mau mengajak para pemimpin Papua mulai dari kedua Gubernur Propinsi Papua dan Papua Barat serta seluruh para Bupati dan Walikota kembali ke nilai-nilai kesejatian jati diri sebagai manusia Papua yang memiliki nilai-nilai luhur Adat Budaya Papua. 

Nilai itu berasal dari nilai luhur Asli Papua yang nyata hidup dan dihayati rakyat Papua misalnya vocus tujuan disini arah dan pola pembangunan Jayawijaya diarahkan pada nilai-nilai kesejatian manusia Jayawijaya pada jati diri orang Wamena.

Itu berarti pembangunan dalam segala aspek apapun yang namanya pembangunan harus didasarkan dan diarahkan kembali ke nilai-nilai luhur sebagai hasil kreasi atau sciance (ilmu) dan tekhnology temuan leluhur atau moyang bernilai positif, dan yang itu diwariskan leluhur kepada kita generasi hari ini dan kedepan.

Pembangunan apapun sektor pembangunan berdasarkan prinsip nilai-nilai par exalance (utama) warisan leluhur yang masih dihayati generasi hari ini dan kedepan sama artinya spirit (semangat) nilai itu kembali (back to bassice) pada diri manusia Papua bukan berdasarkan nilai lain dan asing dari luar. 

Tulisan awalnya ingin mempersembahkan khusus kepada para pemimpin dan calon pemimpin Kabupaten Jayawijaya sebagai tempat sentral (pusat) ruang lingkup budaya Suku Dani Papua. 

Selain itu tulisan ini menjadi rujukan Pemerintah Kabupaten Jayawijaya karena selama dua (2) bulan di Kota Wamena penulis mengamati suatu perkembangan yang bisa dikatakan “aneh”, lain dan baru sehingga tingkat partisipasi rakyat rendah bahkan dampak negativenya masyarakat teralienasi dalam habitat mereke sendiri.

Suku Dani sebagai pusat (sentral) budaya seluruh Pegunungan Tengah Papua dikenal umum sebagai “Orang Wamena”, atau yang bertempat tinggal di Kota Wamena dan sekitarnya, dahulu memiliki nilai warisan leluhur yang ketinggian nilai-nilainya tak kalah hebat dengan nilai-nilai bangsa lain. 

Orang Wamena atau Suku Dani, Lembah Baliem (Lembah Agung) Kabupaten Jayawijaya Kota Wamena khusus dan umumnya manusia Papua, harus menjadi manusia seuutuhnya, tidak kehilangan jati diri (devrivation/dislocation/teralienasi) sebagai manusia Papua sejati. 

Apa yang dimaksud dengan nilai? Nilai (value) itu sesuatu karena ada apanya mahal atau karena ada nilainya ia berharga. Semakin bernilai tinggi (kualitas) harga nilainya mahal atau tinggi. Sesuatu yang bernilai selalu dicari dan dihargai dengan harga mahal atau bahasa gampangnya sesuatu yang dianggap penting, penting karena bernilai, diusahakan terwujudnya nilai itu karena sejumlah kwalitas suatu nilai.

Adapun yang dimaksudkan disini pentingnya ada pada dua hal. 

Pertama, adalah mempertahan nilai-nilai luhur (mulia, yang baik, utama, par exalance), dan nilai utama itu agar dijadikan dasar pijakan hidup manusia Papua asal Jayawijaya. Terutama tulisan dimajukan kepada Pemerintah Jayawijaya agar seluruh tatanan kebijakan Pembangunan Papua umumnya dan lebih khusus Kabupaten Jayawijaya (tempat darimana penulis berasal) harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat lokal, nilai itu berasal dari warisan leluhur manusia Jayawijaya Papua nilai asing dan baru lain.

Kenapa? Karena selama 20 tahun Otsus Papua berjalan saya mengamati mulai adanya proses pergeseran nilai sejati manusia Papua di Jayawijaya sehingga hal itu berdampak langsung pada mentaliltas, tata laku, kebiasaan, perilaku, kecenderungan, pola perilaku, sistem kepercayaan dan tindakan manusia Papua berasal Jayawijaya cenderung tercipta complex imferiority (rasa rendah diri) sebagai dampak negatifnya dan terlihat dirasakan dewasa ini manusia Jayawijaya.

Sehingga gagasan ini menjadi konsep (pemikiran) baru bagi pembangunan Jayawijaya kedepan agar pola, sistem nilai, charackter boulding (watak pembangunan) yang mau ditawarkan disini bukan konsep baru atau sesuatu yang asing dan lain tapi bersumber, berasal dari spirit (semangat) dalam diri orang Wamena Papua sendiri. 

Konsep pembangunan Jayawijaya yang mau ditawarkan disini berasal dari apa yang sudah dimiliki orang Wamena, yang sudah ada, yang sudah ditemukan dan dihayati sebagai nilai sendiri sejak leluhur manusia Jayawijaya. Sekali lagi tawaran konsep pembangunan Jayawijaya mau ditawarkan kedepan disini bukan berasal dari konsep asing dan baru tetapi berasal dari nilai-nilai yang hidup dan dimiliki oleh orang Papua Suku Dani Lembah Baliem Jayawijaya.

Karena itu gagasan ini dapat diikuti oleh seluruh Kota dan Kabupatuen Se Propinsi Papua dan Papua Barat. 

B. Reaktualisasi Nilai-Nilai Papua






*Ustadz Ismail Asso adalah Kelahiran Walesi Kampung Assolipele Kabupaten Jayawijaya Papua adalah :

1. Anggota Forum Seniorbdan Millenial Papua di Jakarta
2. Pendiri dan Pengasuh Ponpes Al Hidayah Firdaus Asso Koya Jayapura Papua
3. Alumni Ponpes Al Mukhlisin Ciseeng Parung Bogor
4. Mahasiswa Droup Out UIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta tahun 1995-1999
5. Mantan Qori Nasional mewakili Propinsi Irian Jaya (Papua) Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat Anak-Anak Tahun 1987-1988
6. Juara Satu (1) Qori tingkat anak-anak MTQ, Se-Propinsi Irian Jaya tahun 1987
7. Atas undangan khusus Wakil Presiden RI Soedharmono melalui Bupati Kabupaten Jayawijaya Albert Dien Penuois bersama 4 orang teman selesai Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Merasugun Asso Walesi dikirim belajar menempuh pendidikan lanjutan di Pondok Pesantren Al Mukhlisin Ciseeng Parung Bogor Jawa Barat tahun 1988-1995.
5. Kini jadi pengangguran dikampung kelahiran dipinggiran Kota Wamena

Post a Comment

Previous Post Next Post