KOMENTAR TOKOH PAPUA: USTADZ ISMAIL ASSO, ARTIKEL VOA, Nurhadi Sucahyo; Judul: “Kutukan Sumber Daya Alam Memghantui Papua”


Jakarta,metronewstv.com Dalam Tulisan yang sangat bagus dan menarik untuk dikomentari karena judulnya mencengangkan atau mungkin lebih tepat mististik. Menarik mau dikomentari disini karena ternyata Dana Otsus sangat besar dan pelanggaran HAM sangat amat gawat dari satu Presiden Ke Presiden sama tak mengubah selain pengerukan SDA secara gila dan Massive oleh kapitalisme.ungkap ustadz Ismail Asso keterangan tertulis kepada wartawan (20/12/2022)

Ia juga mengatakan,bahwa DOB diharapkan mengeleminir potensi kekerasan sipil dan militer serta mempercepat rentang jarak kemiskinan lebih merata diseluruh pelosok akibat isolasi wilayah sebagai tak lain dalam terminologi Jakarta “Percepatan Pembanguan”, bukannya disahuti dengan suka cita melainkan diiringi darah dan air mata kekerasan demi kelerasan sipil dan militer eskalasinya demikian merata dan terus meningkat seluruh Wilayah Papua mingu-minggu pasca tiga dan atau Empat Gubernur DOB dilantik.

Mengapa ini bisa terjadi? Untuk menjawab ini saya ingin mengajak kita membawa pikiran lebih ke pikiran ferlektif. Tujuannya elaborasi evaluasi seluruh kebijakan negara atas rakyat Papua lebih bermakna membumi, aktual tak lagi transenden, melalui cara pikir penerima kebijakan bukan mau apa pembuat kebijakan.

Catatan relfleksi berikut perlu diperhatikan bersama adalah bahwa asumsi seluruh titik tolak sebuah kebijakan adalah manusia dan penghargaan kemanusian. 

Dalam hal ini manusia Papua dan orang Papua adalah utama dan terpenting dihargai sebagai manusia, dalam penghormatan ini menyangkut, keberadaannya, kebebasannya, keunikannya dan apa kemauannya.

Selama ini semua kebijakan negara bersifat top Down, dari atas kebawah, bukan menyerap aspirasi dari bawah keatas, apa maunya rakyat seluruh Papua bersifat Buton Up.

Gagasan DOB awalnya datang dari satu dua orang atas keinginan lebih pada syahwat berkuasa, kemudian ditindaklanjuti dan sangat cepat direspon pejabat negara di Jakarta tanpa lebih dulu evaluasi total Otsus Papua berlaku selama 20 tahun sesuai pasal-pasal perjanjian awal dimana UU Otsus Papua dirumuskan atas kesepakatan bersama. (Dari sisi ini ada pihak atas nama negara menyelewengkan dan akhirnya mereduksi semua perjanjian itu dengan RUU baru dengan menghilangkan pasal-pasal krusial dan urgen bagi rakyat Papua secara sepihak) oleh pihak (oknum) atas namakan pemerintah pusat (karena diberi kewengan atas nama negara).

Terlepas dari itu semua resensi tulisan saya atas Tulisan VOA (media liputan internasional) ini adalah soal Otonomi.

Otonomi ditambah kata khusus dari kata Papua bukan mau bilang apa tapi Papua dengan segala aspek alam budaya sosial ekonomi agama adat, dan politik titik sentralnya Manusia, Orang Papua.

Orang Papua sebagai manusia memiliki kebebasan eksistensial. Jadi kebebasan eksistensial adalah kemampuan manusia Papua untuk menentukan tindakannya sendiri. Kemampuan itu bersumber pada kemampuan manusia Papua untuk berfikir dan berkehendak dan terwujud dalam tindakan. Jadi kebebasan eksistensial tidak hanya berarti bahwa orang Papua menentukan tindakannya melainkan melalui tindakannya orang papua menentukan dirinya sendiri.

Kebebasan adalah kita manusia sebagai makhluk menentukan tindakannya sendir. Manusia Papua bukan sekedar simpul-simpul reaksi-reaksi terhadap macam-macam perangsang, yang itu tidak ditentukan oleh segala kecondongan. Melainkan terhadap dan berhadapan dengan kecondongan dan perangsang itu orang Papua mengambil sikap dan tindakan bebas, mereka menentukan dirinya sendiri. 

Manusia tidak begitu saja dicetak oleh dunia luar disatu pihak, dan dorongan-dorongannya dari dalam di lain pihak, melainkan membangun dirinya sendiri berhadapan baik dengan tantangan tantangan dari luar maupun dari dalam.

Ingat!

Maka kebebasan adalah ungkapan martabat manusia Papua. Karena kebebasan manusia Papua adalah makhluk yang otonom yang menentukan diri sendiri, yang dapat mengambil sikapnya sendiri. 

Itulah sebabnya kebebasan berarti banyak bagi kita. Setiap pemaksaan kita rasakan sebagai sesuatu yang tidak hanya buruk dan menyakitkan, melainkan juga menghina. 

Dan memang demikian: memaksakan sesuatu pada orang lain berarti mengabaikan martabatnya sebagai manusia yang sanggup untuk mengambil sikapnya sendiri. 

Maka kita merasa paling terhina kalau sesuatu dipaksakan kepada kita dengan ancaman atau bujukan. Kalau diminta, artinya, kalau kebebasan kita dihormati, kita sering bersedia untuk memberikan dengan hati yang lapang, tetapi kalau kita dipaksa, kita merasa terhina dan tidak mau. 

Kebebasan adalah mahkota martabat kita sebagai manusia sebagai manusia. Kebebasan itu termasuk kemanusiaan kita. Sebagai manusia kita bebas. Demikian Marthin Heidegger (1889-1976), dijelaskan dalam Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral oleh Franz Magnis -Suseno (1 Juni 1985).

Ismail Asso (tanpa Ustadz)

Post a Comment

Previous Post Next Post