Kenangan Mantan Rektor ITS Prof Joni Hermana, Tinggalkan Jabatan Hanya Demi menuntut ilmu di pondok pesantren

Jakarta,metronewstv.com Seorang Sarjana S3, sudah jadi doktor atau profesor, dia rela meninggalkan pekerjaan dunianya, hanya demi mondok untuk mempelajari Al-Qur'an dan menghafalkan Al-Qur'an 30 juz.

Padahal gaji nya besar, dan umurnya juga sudah lumayan tua, tapi masih mau belajar mendalami Al-Qur'an. Beliau memilih untuk mondok belajar al-qur'an sebagai persiapan menghadap Allah nanti.
Prof. Ir. Joni Hermana, M.Sc.ES., Ph.D adalah Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang ke-11 pada periode kepemimpinan 2015 – 2019.

Guru besar Teknik Lingkungan ini mengungkapkan bisa merasakan begitu luar biasanya pengaruh jabatan dalam organisasi. Sehingga ia menekankan kepemimpinan dengan hati, yang mengutamakan nurani dalam setiap mengambil keputusan.

"Waktu pertama kali jadi rektor, saya intruksikan semua maba bisa sholat subuh. Dan ternyata dampaknya besar, mulai dari masalah keimanan. Bahkan ada yang berpraduga kok ITS kayak sekolah agama. Ini membuat saya tertantang, tapi saya ingin menanamkan nilai moral yang baik," ungkap suami Dra. Devi Prasasti alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran ini.

Di wall FB nya, Prof Joni Hermana menulis kutipan inspirastif. Dulu di kala masih kecil, dia selalu mendapat peringkat 1 baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA. Semua merasa senang, ibu dan ayah pun selalu memeluknya dengan bangga. Keluarga sangat senang melihat anaknya pintar dan berprestasi.

“Aku masuk perguruan tinggi ternama pun, tanpa embel-embel test. Orang tua dan teman-teman ku merasa bangga terhadap diriku. Tatkala aku kuliah IPK ku selalu 4 dan lulus dengan predikat cum laude,” tutur Joni Hermana yang dilahirkan di Bandung, 18 Juni 1960.


Prof Ir Joni Hermana MScES PhD dan Istri

Semua bahagia, para rektor menyalami nya dan merasa bangga memiliki mahasiswa seperti dirinya, jangan ditanya tentang orang tua tentunya mereka orang yang paling bangga, bangga melihat anaknya lulus dengan predikat cum laude. Teman-teman seperjuangannya pun gembira. Semua wajah memancarkan kebahagiaan.

“Lulus dari perguruan tinggi aku bekerja di sebuah perusahaan Bonafit. Karirku sangat melejit dan gajiku sangat besar. Semua pun merasa bangga dengan diriku, semua rekan bisnisku selalu menjabat tanganku, semua hormat dan mnghargai diriku, teman-teman lama pun selalu menyebut namaku sebagai sslah satu orang sukses,” papar nya.

Namun ada sesuatu yang tak pernah kudapatkan dalam perjalanan hidupnya selama ini. Hatinya selalu kosong dan risau. Perasaan sepi selalu memghantui hari-hari Prof. Joni Hermana.  

“Ya.. aku terlalu mengejar duniaku dan mengabaikan akhiratku. Aku sedih,” ujar Prof Joni Hermana yang merupakan anak ke delapan dari sebelas bersaudara. Ayahnya S. Budisunjoto. Sedangkan Sang Ibu, yang berasal dari keturunan Kasepuhan Cirebon, adalah ibu rumah tangga yang fasih berbahasa Jawa halus karena pernah mengenyam Pendidikan di Taman Siswa Yogyakarta.

Ketika dia berikrar untuk berjuang bersama barisan Pembela Rasulullah SAW. dan membuang segala title keduniaan, maka dia tinggalkan dunia nya untuk mengejar akhirat dan ridha-Nya.

Seketika itu pula dunia terasa berbalik. Ya, Dunia seperti berbalik. Prof. Joni Hermana putuskan untuk merantau dan memilih mempelajari ilmu Al-Qur'an dan hadist dan kuhafalkan Al-Qur'an 30 juz.

“Semua orang mencemooh dan memaki diriku. Tak ada lagi pujian, senyum kebanggaan, peluk hangat dll. Yang ada hanyalah cacian. Terkadang orang memaki diriku, buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya masuk pesantren dia itu orang bodoh. Sudah punya pekerjaan enak ditinggalin,” tandasnya.



Saat menerima penghargaan Ganesa Widya Jasa Adiutama dari ITB karena jasa dan atau prestasi pada pengembangan IPTEK di Indonesia. (dok. Humas ITB).

Berbagai caci dan maki tertuju pada dirinya, bahkan dari keluarga yang tak jarang membuat dirinya sedih. "Apa ada lulusan perguruan tinggi terkenal masuk pondok tahfidz? Ga sayang apa udah dapst kerja enak, mau makan apa dan dari mana lagi ? Kata mereka. Ya, pertanyaan-pertanyaan itu terus menyerang dan menyudutkan diriku,” ungkap Prof. Joni Hermana.

Hingga suatu ketika, ketika fajar mulai menyingsing dia ajak ibu nya untuk shalat berjamaah di masjid, masjid tempat dimana Prof. Joni Hermana biasa menjadi imam. Ini adalah shalat shubuh yang akan selalu dikenangnya.

“Ku angkat tangan seraya mengucapkan takbir. Allaaahuu akbaar. ku agungkan Allah dengan seagung-agungnya. Ku baca doa iftitah dalam hati ku, berdesir hati ini rasanya. Kulanjutkan membaca,” ujarnya.

Al-Fatihah, Bismillahirrahmaanirrahiiim, (sampai disini hatinya bergetar), dia sebut nama-Nya yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Alhamdulillahirabbil alamiin.

Prof. Joni Hermana, panjatkan puji-pujian untuk Rabb semesta alam. Dia lanjutkan bacaan lamat-lamat, dihayati surah Al-Fatihah dengan seindah-indahnya taddabur, tanpa terasa air mata jatuh membasahi wajahnya.

Berat lidahnya untuk melanjutkan ayat, Arrahmaanirrahiim, lalu lanjutkan ayat dengan nada yang mulai bergetar. Malikiyaumiddin, kali ini dia sudah tak kuasa menahan tangisnya. Iyyaka na'budu wa iyyaka nastaiin, "yaa Allah hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami meminta pertolongan." Prof. Joni Hermana melanjutkan bacaannya.


Hatinya terasa tercabik-cabik, sering kali diri ini menuntut kepada Allah untuk memenuhi kebutuhannya, tapi dia lalai melaksanakan kewajibannya kepada-Mu. “Sampai lah aku pada akhir ayat dalam surah Al-Fatihah. Ku seka air mata dan ku tenangkan sejenak diriku,” tuturnya.

Selanjutnya Prof. Joni Hermana putuskan untuk membaca Surah Abasa. Dia hanyut dalam bacaannya, terasa syahdu, hingga terdengar isak tangis jamaah sesekali. Bacaan terus mengalun, hingga sampai lah pada ayat 34. “Tangisku memecah sejadi-jadinya,” ungkapnya.

Yauma yafirrul mar'u min akhii, wa ummihii wa abiih, wa shaahibatihi wa baniih, likullimriim minhum yauma idzin sya'nuy yughniih. “Tangisku pun memecah, tak mampu ku lanjutkan ayat tersebut, tubuhku terasa lemas,” ujarnya.

Setelah shalat shubuh selesai, dalam perjalanan pulang, ibu bertanya: "mengapa kamu menangis saat membaca ayat tadi, apa artinya?"

Prof. Joni Hermana hentikan langkahnya dan menjelaskan pada ibu. Dia tatap wajah ibunya dalam-dalam dan berkata, “Wahai ibu. ayat itu mnjelaskan tentang huru hara padang mahsyar saat kiamat nanti, semua akan lari meninggalkan saudaranya. Ibunya, Bapaknya, Istri dan anak-anaknya. Semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Bila kita kaya orang akan memuji dengan sebutan orang yang berjaya. Namun ketika kiamat terjadi apalah gunanya segala puji-pujian manusia itu. Semua akan meninggalkan kita. Bahkan ibupun akan meninggalkan aku,” terangnya.

Ibu pun meneteskan air mata, Prof. Joni Hermana lalu seka air matanya. “Ku lanjutkan, Aku pun takut bu bila di Mahsyar bekal yang ku bawa sedikit. Pujian orang yang ramai selama bertahun-tahun pun kini tak berguna lagi. Lalu kenapa orang beramai-ramai menginginkan pujian dan takut mendapat celaan. Apakah mereka tak menghiraukan kehidupan akhiratnya kelak?” tanya Prof. Joni Hermana.

Ibu kembali memeluknya dan tersenyum. Ibu mengatakan, betapa bahagianya punya anak seperti dirimu. Baru kali ini Prof. Joni Hermana merasa bahagia, karena ibunya bangga terhadap dirinya.

Berbagai pencapaian yang dia dapat dulu, walaupun ibu sama memeluknya namun baru kali ini pelukan itu sangat membekas dalam jiwanya. Wahai manusia sebenarnya apa yang kalian kejar? Dan apa pula yang mngejar kalian? Bukankah maut semakin hari semakin mendekat?

Dunia yang menipu jangan sampai menipu dan membuat diri lupa pada negeri akhirat kelak. Wahai saudara-saudaraku, apakah kalian sadar nafas kalian hanya beberapa saat lagi? Sebelum lubang kubur kalian akan digali. Apa yang aku dan kalian banggakan di hadapan Allah dan Rasul-Nya kelak? Wallahu a'lam.



Laporan kaperwil Jabodetabek

Post a Comment

Previous Post Next Post