Jakarta,metronewstv.com,kedudukan perempuan dalam masyarakat Papua atau kesetaraan gender menjadi salah satu isu prioritas. Kerap kali perempuan Papua dianggap lemah sehingga menjadi salah satu faktor hambatan dalam aspek pekerjaan dan kehidupan bermasyarakat lainnya. Seiring dengan meningkatnya kesadaran kaum perempuan akan haknya, perlu sikap yang arif dari para ulama atau tokoh agama di Papua dalam memberikan pencerahan. Lantas bagaimanakah pandangan Perempuan Papua dalam menyikapi isu ini? Sebagai referensi bagi kaum Muslimi untuk mendorong kemajuan perempuan Papua di atas tanahnya.
Dalam beberapa hari ini di dalam kehidupan saya sebagai perempuan berkulit hitam dan berambut keriting yang sudah memiliki anak dan tidak memiliki suami atau hubungan yang tidak terikat di dalam pernikahan merasa diri saya rendah. Ada beberapa hal yang membuat saya berpikir bahwa diri saya rendah dan takut untuk mencoba bermimpi memiliki pasangan yang dapat menghargai saya sebagai Perempuan Papua yang mulia. Dalam beberapa hari ini saya mencoba membangun hubungan tetapi pandangan laki-laki Papua untuk perempuan yang sudah memiliki anak seperti saya mendapatkan posisi rendah dan diperlakuan tidak sopan saat saya menulis ini posisi saya sebagai pemimpin organisasi dan juga pengurus dari 16 OKP, otomatis saya memiliki peran penting di dalam kehidupan bermasyarakat.
Posisi saya selalu di depan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan Papua di dalam sistem NKRI tetapi diri saya diperlakukan seperti ini timbul pertanyaan di dalam hati dan benak saya; “Bagaimana dengan kaum perempuan lainnya diatas tanah Papua?”.
Kemarin saya berkomunikasi dengan salah satu laki-laki asal Papua yang sedikit merubah gambaran diri saya yang rusak lalu saya teringat dengan kisah “Siti Aisyah yang pernah saya dengar kisahnya di Masjid Al-Askar Entrop”.
Pandanganku terhadap diri saya sendiri menjadi rendah dan tidak pantas memiliki pasangan yang baik
tidak dapat dipertahankan lagi karena lelaki ini mengingatkan saya bahwa di dalam berbagai penelitian dibuktikan bahwa wanita mampu memiliki keterampilan, kecerdasan saya tidak boleh berpikir bahwa saya ada di posisi paling rendah tetapi di dalam kehidupan saya dalam berorganisasi maupun di dalam masyarakat kecerdasan dan posisi saya terancam mati, hilang tidak bernyawa, saya selalu berbicara didepan mewakili ribuan kaum perempuan Papua dan hari ini saya lemah dan takut karena perlakuan buruk dari beberapa laki-laki Papua yang saya temui, tetapi salah satu lelaki dari suku Mee – Papua ini sedikit merubah pola pikir saya dan hendak mencoba mengingat beberapa poin yang saya dapatkan dari agama Islam, saya mencoba menerjemahkan posisi wanita Papua dari sudut pandang perempuan Kristen yang mencintai pandangan dari kaum Muslim tentang penempatan dan posisi wanita Papua.
Dalam aksi maupun diskusi tentang perempuan Papua yang selalu saya lakukan, agak terkesan
selalu dimulai dari praanggapan bahwa perempuan berada pada lapis
bawah (low-layer), tertindas dan tidak berdaya dengan bukti faktual
sederet kasus seperti soal TKW, PRT, buruh perempuan, eksploitasi
perempuan Papua didalam bisnis dan sebagainya, termasuk yang mengemuka di waktu-waktu terakhir ini adalah tuntutan kuota perempuan Papua dalam parlemen.
Oleh karenanya, kemudian menurut saya, diperlukan perjuangan menuju derajat emansipasif. Dan agar perempuan Papua mampu
memperjuangkan kepentingan dirinya tanpa tergantung pada orang
lain, diperlukan upaya pemberdayaan (enpowerment) perempuan; serta agar semua langkah dan pikiran yang mendasari ini sah (legitimated), dicarilah legalitas filsafati dari wacana atau diskursus di seputar dunia keperempuanan. Bukan hanya itu, saya juga merasa wajib untuk membongkar mitos-mitos filsafati bias laki-laki semacam “hidup perempuan di seputar kompleks rumah,dapur dan kasur” atau bahwa “tugas perempuan adalah masak, macak dan manak”, yang tampaknyatelah diterima secara luas baik oleh kaum laki-laki di Papua maupun perempuan sendiri, yang dianggap membikin kaum perempuan mundur, tertindas dan bahkan telah membikin perempuan menjadi makhluk setengah manusia.
Berkaitan dengan mitos-mitos filsafat tadi, menurut saya, pejabat di Papua
termasuk yang segera dituding telah memberikan “kontribusi” besar
dalam pemunduran dan penindasan perempuan. Pejabat Papua
yang dikatakan sangat maskulin atau male biased, tidak akomodatif
terhadap aspirasi feminin. Fenomena pejabat Papua menjadikan perempuan dibawa umur sebagai simpanan, perbudakan seks yang dilakukan beberapa pejabat dengan tawaran jabatan, menjadikan seorang perempuan Papua menjadi simpanan, hak waris dan persaksian perempuan yang hanya separuh laki-laki, penekanan pada peran domestik perempuan dansebagainya selalu ditunjuk sebagai bukti kebenaran tuduhan tadi. Dan
yang paling mencolok, menurut saya, di bidang politik dan kemasyarakatan. Saya menuduh Pejabat Papua sama sekali tidak menghargai peran
kaum perempuan, di dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) perempuan Papua memiliki kuota untuk menduduki parlemen tetapi tidak pernah diperjuangkan oleh kaum laki-laki Papua yang hari ini duduk menjabat didalam komisi DPRP, MRP dan dinas-dinas (organisasi perangkat daerah) terkait.
Dasar pemikiran dan kedekatan saya dengan lelaki dari suku Mee inilah yang kemudian menjadi bahan refleksi saya dan membuat saya coba mengingat kembali tentang cerita Siti Aisyah yang pernah saya dengar di Masjid bukan hanya sebuah cerita, tetapi lewat riset yang saya lakukan kedudukan perempuan Papua di dalam kaum muslimin Papua sangat dihargai bila diterima dan diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Cerita dari Aisyah ini saya pikir dapat mengangkat hak dan martabat seorang perempuan Papua.
Menurut saya, perempuan Papua dalam pandangan Islam sesungguhnya menempati posisi yang sangat terhormat. Ada beberapa teman mengatakan bahwa Islam juga mengalami bias gender tetapi menurut saya Islam tidak bisa dikatakan
mengalami bias gender. Islam memang kadang berbicara tentang dua hal
perempuan sebagai perempuan (misalnya dalam soal haid,
mengandung, melahirkan dan kewajiban menyusui) dan kadang pula
berbicara sebagai manusia tanpa dibedakan dari kaum laki-laki
(misalnya dalam hal kewajiban shalat, zakat, haji, berakhlaq mulia, amar makruf nahi mungkar, makan dan minum yang halal dan sebagainya).
Menurut saya kedua pandangan tadi sama-sama bertujuan mengarahkan perempuan secara individual sebagai manusia mulia dan secara kolektif, bersama dengan kaum laki-laki, menjadi bagian dari tatanan (keluarga dan masyarakat) yang harmonis. Ada beberapa nilai-nilai Islam yang
Ketika Islam mewajibkan istri meminta izin pada suami bila hendak keluar rumah atau puasa sunnah misalnya, sementara untuk hal yang sama suami tidak wajib meminta izin pada istri; juga ketika Islam menetapkan hak waris dan persaksian perempuan separuh laki-laki, kewajiban perempuan memakai jilbab atau ketika menetapkan tugas utama istri sebagai umm (ibu) dan rabbatul bait (pengatur rumah tangga), dan hak talak pada suami, sesungguhnya Islam tengah berbicara tentang keluarga bukan tentang pribadi-pribadi, orang
perorang laki-laki atau perempuan, serta kehendak untuk mengaturnya agar tercipta tatanan yang harmonis tadi.
Tuduhan bahwa penetapan peran domestik perempuan dalam Islam dan kewajiban berjilbab adalah bias laki-laki, hanya benar bila itu dipandang per-individu perempuan, bukan sebagai suatu mekanisme rasional yang harus ditempuh bila kita menginginkan terciptanya struktur keluarga yang kuat di mana hubungan antara laki-laki dan
perempuan saling menunjang serta upaya penataan hubungan antara
laki-laki dan perempuan dalam masyarakat agar etika pergaulan
terjaga. Keluarga harmonis dan bahagia, serta masyarakat yang mulia, bukankah itu yang diidamkan oleh setiap manusia? Sehingga tidaklah tepat bila dikatakan bahwa kewajiban-kewajiban seperti itu male bias (sangat maskulin) dan mereduksi peran perempuan sebagai manusia. Kita akan gagal memahami kehendak Islam dalam masalah ini bila kacamata pandang kita terhadap persoalan eksistensi manusia (laki-laki dan perempuan) di dunia ini tidak diubah.
Dengan begitu saya mau mengatakan, bahwa Islam mengangkat derajat perempuan Papua bila diterapkan ajarannya dengan baik dan luas. Islam menjawab perilaku menyimpang dari beberapa pejabat di atas tanah Papua yang sudah saya jelaskan diatas tadi bahwa saya menuduh Pejabat Papua sebagai penyebab kemunduran perempuan Papua.
Sementara, ketika Islam berbicara tentang wajibnya wanita berdakwah, mendidik umat, di bidang politik menjadi anggota majelis syuro umpamanya, dan untuk itu ia harus keluar rumah, maka Islam tengah berbicara tentang masyarakat dan peran wanita dalam
membentuk masyarakat yang baik. Tapi di luar dua hal di atas, Islam sama sekali tidak menghilangkan keberadaan wanita atau perempuan sebagai individu. Ia dibolehkan untuk menuntut ilmu, berpendapat, bekerja,
mengembangkan hartanya, memimpin sendiri usahanya dan sebagainya. Jadi, Islam dapat membantu mengangkat Wanita dan Perempuan Papua dari bias gender yang dilakukan pejabat Papua atas perempuan Papua selama ini.
Memang tercatat dalam sejarah sekian peristiwa yang menunjukkan gugatan wanita Islam di masa lalu. Tapi semua itu bukanlah dilandasi oleh dorongan seksis demi kepuasan kaum wanita
semata, melainkan demi kesamaan kesempatan menuju derajat kemuliaan seorang muslimah inilah yang harus menjadi ajaran yang luas diatas tanah Papua untuk Wanita dan Perempuan Papua. Lihatlah tatkala mereka datang kepada Rasulullah mengajukan tuntutannya, “Ya, Rasulallah mengapa hanya laki-laki saja yang disebut al-Qur‟an dalam segala hal, sedangkan kami tidak disebut?” Maka Allah kemudian menurunkan ayat yang
menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita sesungguhnya memiliki
peluang sama untuk menjadi makhluk yang mulia: “Sesungguhnya, laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki
dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu”, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” Ditegaskan pula, bahwa hasil kerja seseorang tidaklah ditentukan oleh jenis kelamin:
“……dan bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan…..”
Pada saat lain, perempuan Islam di masa Rasulullah meminta agar diadakan pertemuan khusus buat mereka dalam mempelajari ilmu
dan Nabi memenuhi kehendak mereka dengan memberikan waktu khusus. Islam memang mewajibkan menuntut ilmu bagi perempuan dan laki-laki. Karena dorongan mencari ilmu inilah, laki-laki dan perempuan Islam bersaing dalam mereguk Ilmu. Aisyah dikenal pada zaman permulaan Islam sebagai “orang yang paling ahli fikih, kedokteran dan puisi”. Sekian hadits sampai kepada kita melalui periwayatan Aisyah.
Demi menegakkan yang benar, mereka tidak segan pula bertindak terhadap pemimpin negara sekali pun. Pada suatu hari, Amirul Mukminin Umar bin Khattab mengeluarkan keputusan hukum yang melarang perempuan menetapkan mahar yang terlalu mahal,
serta menentukan batas-batasnya. Seorang wanita protes dan mengingatkan Umar tentang satu ayat dalam al-Quran: “Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak.”Umar mencabut kembali peraturan itu sambil berkata, “Perempuan itu benar, dan Umar salah”. Kisah ini menunjukkan kebebasan perempuan untuk melakukan protes politik, menurut saya sebagai Aktivis Perempuan Indonesia yang lahir sebagai Perempuan dengan ras Melanesia berketurunan Papua ayat ini jauh sebelum Betty Friedan memimpin gerakan perempuan Amerika Serikat, bahkan jauh sebelum Revolusi Perancis meneriakkan “Liberte, Egalite et Fraternity”.
Dewasa ini banyak sekali persoalan yang membelit dunia kehidupan Perempuan Papua adalah kenyataan yang tidak terbantahkan. Persoalannya kemudian adalah bagaimana menyelesaikannya? Sejatinya, justru dengan ajaran Islam atau sedikit cerita dari Asiyah itu bisa ditegakkan sebuah
postur kehidupan kaum perempuan yang shalih secara individual,
harmonis dalam keluarga serta mulia secara komunal.
Penulis: Michelle kurisi Doga
aktivis Perempuan Indonesia dari Papua
Post a Comment