Papua berbeda dari Indonesia “Sejarah Papua Adalah Sejarah Indonesia”​Catatan: Untuk Fortuna Anwar


 
 
Jakarta metronewstv com Menyamakan Papua dengan Indonesia zaman Hindia Belanda adalah suatu reduksi sejarah sesungguhnya kalau bukan kekeliruan Fortuna Anwar. Kutipan judul wawancara Fortuna Anwar diatas dan isi wawancara menunjukkan reduksi sejumlah fakta sejarah Papua-Indonesia berhadapan dengan Belanda di satu pihak dan antara Belanda-Papua di pihak lain. Upaya simplifikasi demikian sering dan selalu dilakukan para tokoh Indonesia di mana-mana adalah suatu upaya wajar kolonialis manapun di dunia.
Keterangan tertulis kepada wartawan (8/9/2022)


Hal demikian itu diperlihatkan pikiran dan jiwa hipokrit seorang Fortuna Anwar, sehingga bisa jadi virus  generasi muda Papua patut diwaspadai adalah urgensinya penulisan sanggahan disini. Agar anak-anak muda kita tidak begitu saja menelan manipulasi informasi kebenaran sejarah oleh orang lain atas dirinya, betapapun kebenaran informasi soal sejarah itu dikemas dengan bungkusan ilmiah oleh tokoh ilmuwan colonial sekaliber apapun dia, jika itu isinya suatu racun maka kita wajib luruskan agar seimbang atau kita harus sanggah kalau bukan ditolak.


Sebab hal demikian pernah ada dalam sejarah Indonesia sendiri misalnya seorang tokoh intelektual Belanda bernama Snoauck Hurgronje, yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda dan terutama pada rakyat bangsa Aceh bertindak sebagai penasehat politik pemerintah colonial Belanda yang dia sendiri sebagai ahli agama Islam dengan pura-pura masuk agama Islam sampai bermukim sambil belajar agama itu di Timur Tengah untuk melemahkan kekuatan perlawanan rakyat Aceh yang kuat tradisi keagamaannya masa itu.


Demikian juga disini, harus menjadi waspada para pejuang HAM dan demokrasi Papua. Tulisan sederhana ini sebagai countre balance agar dibaca anak-anak Papua atas kebenaran sejarah sendiri oleh usaha manipulasi orang lain yang terus menerus memanipulasi sejarah orang Papua yang dibungkus rapi dalam berbagai bentuk dan tempat terutama dalam buku sejarah kurikulum pendidikan nasional kolonialisme dewasa ini yang diajarkan pada anak-anak kita, bangsa Papua.


Salah satu upaya kelanggengan kolonisasi berkelanjutan adalah manipulasi sejarah orang lain dalam sejarah sendiri sebagaimana hal demikian sering dilakukan para ilmuwan Indonesia untuk tujuan colonisasi seperti  kita tahu sampai saat ini masih diajarkan pada anak-anak kita MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) di Uncen Papua pada semua jurusan kuliah semester awal tentang “orang Papua” pernah berkeliaran di Jawa Timur dalam buku Antropologi karya Koentjraningrat. Ini menunjukkan jiwa intelektual Indonesia tidak saja berjiwa kerdil dan tidak demokratis, tapi juga merupakan pembohongan public sangat gawat.


Hal itu diulangi lagi Fortuna Anwar dalam wawancara sebagaimana judul kutipannya ditulis dalam tanda petik diatas sebagai subjudul tulisan ini. Kita melihatnya Fortuna Anwar sebagai intelektual berjiwa manipulatif sehingga menjadi senyawa dengan kolonialis hegemonik, yang ingin memertahankan dominasinya atas menentukan nasib sendiri bangsa Papua Barat yang memang berbeda dari Indonesia (baca not integratied) baik secara demografis, topografis, geografis dan etnografis.


Dan penting dicatat disini bahwa status Papua bukan dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana disangkakan orang Indonesia juga para pejabatnya selama ini tapi langsung di bawah Ratu Yuliana dari Negeri Belanda sana (sama seperti Suriname sekarang). Oleh sebab itu dengan sendirinya pernyataan Fortuna Anwar sebagaimana kutipan subjudul diatas bukan hanya keliru tapi juga vatal akibat kekeliruaannya karena menyesatkan anak-anak kita.  


Kekeliruannya ini dapat disandingkan dengan kekeliruan Ir. Soekarno (Proklamator RI), tatkala ditanya Dr. Muhammad Hatta yang merasa keberatan, Papua dimasukkan kedalam wilayah NKRI seperti dimaui Presiden pertama RI itu. Karena secara salah Soekarno menduga Papua sama dengan Jawa. Karena secara salah mengatakan Indonesia meliputi seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, termasuk Papua atau Sabang sampai Merauke.


Hal demikian diulangi Fortuna Anwar, seperti judul wawancara Harian Terbit : "Sejarah Papua adalah Sejarah Indonesia". Padahal lebih tepat; Sejarah Papua adalah sejarah konflik dengan Indonesia, dari pada sebaliknya. Sebab sejarah Papua dari dulu hingga hari ini sampai kapanpun selalu p konflik karena perbedaan alasan nation. Karena status Papua waktu pemerintah Hindia Belanda status Papua bersama Suriname (Negara kepulauan Amerika Tengah) lansung dibawah Ratu Yuliana di Belanda. Bukan sebagaimana dikatakan Fortuna Anwar seperti juga kesalapahaman Soekarno dihadapan Muhammad Hatta itu.


Hingga kini Papua konflik dengan Indonesia dan Belanda antara menentukan nasib sendiri terlepas dari pangkuan-kepangkuan (memimjam istlah Agus Alue Alua). Pepera, perjanjian Malino, Bali dan New York Agreement semuanya hasil rekayasa Indonesia yang berjiwa hipokrit. Karena itu beralasan bila mengatakan pemerintah Indonesia memaksa diri mengklaim Papua bagian dari NKRI, implikasinya, maka selama itupula demokrasi Indonesia tidak pernah tercipta dalam artian secara sesungguhnya, kecuali pseudo demokrasi; Jadinya demo grazy, memalukan!


Jika Indonesia tidak angkat kaki beranjak dari Papua Barat, maka selama itu pula Papua selalu dan selamanya duri dalam daging tubuh NKRI. Dengan sendirinya pernyataan, Fortuna Anwar, dalam wawancara yang menyatakan secara sebaliknya dengan menyembunyikan kebenaran fakta dan sejarah Indonesia-Papua secara apa adanya adalah tanda jiwa hipokrit para pemimpin Indonesia, dan itu menunjukkan tanda kematian demokrasi di Indonesia.


Pernyataan secara manipulatif antara fakta dan sejarah bukan sesungguhnya, adalah hambatan upaya terwujudnya demokrasi dalam negeri Indonesia sendiri dimata internasional. Tentu ini menunjukkan jiwa kekerdilan intelektual Indonesia berhadapan dengan Papua yang memang dari dulunya hingga sekarang dan nanti terus berjuang untuk berdaulat-Merdeka.


Karena itu upaya kebiasaan manipulasi sejarah tokoh publik Indonesia seperti ini nanti terbukti tidak akan bermanfaat bagi dirinya maupun rakyat Papua. Karena itu sama saja membohongi publik yang dipublikasikan di media masa dalam negeri Indonesia pada saat mata dunia tertuju apa yang sebentar lagi akan terjadi di Papua Barat, dalam usahanya menentukan nasib sendiri, sehingga semua itu adalah hanya kesia-siaan dan membohongi diri sendiri tapi juga membodohi rakyat.


Usaha "kepepet" tokoh sekelas Fortuna, demikian dapat kita maklumi, karena utang luar negeri Indonesia yang angkanya nauzubillahimindzalik dapat di bayar dari hasil pencurian kekayaan alam Papua yang sangat kaya raya. Walaupun semua tahu bahwa sejarah sesungguhnya lain dan faktanya disembunyikan demi efektititas hegemoni wacana atas kepentingan kolonialisme mereka.


Fakta lain menunjukkan bahwa daerah jajahan bernama Hindia Belanda (kini Indonesia) diproklamirkan kemerdekaan oleh Soekar-Hatta, maka Belanda ingin hidup menetap secara bersama dengan orang Papua menjadi bukti bahwa Papua tidak pernah dijajah sebagaimana dalam pengertian penjajahan berlaku di Hindia Belanda. Status Papua berbeda sama sekali dari sejarah penjajahan Belanda atas Indonesia. Disini bukti bahwa Papua memang tidak pernah sama sekali dijajah Belanda. Sehingga kekeliruan Fortuna Anwar mirip dengan kesalahan dugaan Soekarno yang salah menganggap Papua juga sebagai daerah colonial Hindia Belanda.
Karena itu kalimat “Sejarah Papua adalah sejarah Indonesia”, adalah kalimat tautologis dari kalimat Papua adalah integral dengan Indonesia, karena itu kalimat ini tidak bermakna. Lebih benar jika mengatakan "Sejarah Papua Adalah Sejarah Konflik dengan Indonesia-Belanda dan Papua sekaligus". Karena apa? Sebab Belanda memperlakukan Indonesia tidak sama dengan perlakuan mereka terhadap rakyat orang Papua.
 
 
Mau tahu bukti kalau Papua berbeda dari Indonesia?
 
Mari kita ikuti bukti-bukti berikut ini untuk lebih jelasnya. Adapun bukti kesalahan atau lebih tepatnya kekeliruan Fortuna Anwar juga Soekarno yang mengklaim Papua bagian tak terpisahkan dari NKRI itu adalah dalam hal klasifikasi (pembagian) penduduk zaman Hindia Belanda. Belanda membagi dalam tiga klasifikasi penduduk dinegeri jajahannya, meliputi:Clas utama warga Belanda, warga Timur Asing dan Pribumi. Pribumi priyayi masuk dalam kelompok menengah bersama warga Timur Asing yang terdiri dari Cina, Arab, India dll. Demikian “Blonde Hitam” dapat dikelompokkan pada golongan orang Belanda sendiri, mungkin termasuk kelompok ini terdiri dari orang-orang Ambon yang kemudian jadi KNIL (tentara Belanda).


Saudara-saudara kita diluar Papua dan Amboina diperlakukan oleh Belanda dalam pemerintahan Hindia Belanda, sebagai warga nomor urut buntut. Mereka (baca, pribumi Indonesia) diperlakukan secara tidak adil dan diskriminatif. Oleh sebab itu warga Indonesia yang berpendidikan modern dan paling siap menduduki jabatan kabinet pemerintahan Soekarno-Hatta adalah mereka yang akrab dengan Belanda (mungkin Ambon, Timor) adalah kelompok orang paling siap itu, kecuali ada keunikan sedikit orang Indonesia dari Sumatra Barat kala itu.


Sebab perlakuan Belanda zaman pemerintahan Hindia Belanda sangat buruk, akibat di antaranya Saudara-Saudara kita orang Indonesianya diawal kemerdekaan RI sedikit sekali yang bisa baca tulis alias buta huruf hampir 90%. Karena perlakuan diskriminasi Belanda hanya dibolehkan sekolah paling tinggi sampai SR atau SD zaman kini. Bahkan dalam kenyataan sehari-hari secara dikhotomis Belanda menempatkan pribumi kelas penduduk paling rendah.
Karena itu kita sulit membayangkan struktur sosial terpola demikian rupa, menyebabkan saudara-saudara kita penduduk pribumi Indonesia, di daerah jajahan Belanda yang bernama Hindia Belanda (sekarang NKRI) itu. Pemerintahan kolonial Hindia Belanda, memang keterlaluan terhadap penduduk pribuminya yang berarti dalam hal ini orang Indonesia. Pribumi diperlakukan (sekali lagi maaf), tidak jauh berbeda dari hewan, karena itu, tidak lebih manusiawi, anjing masih bagus, dipelihara di rumah blonde (Belanda), saudara-saudara kita, Pribumi seperti apa diperlakukan.


Tapi “Mama” satu ini, (Fortuna Anwar), mengatakan : “Sejarah Papua adalah sejarah Indonesia” , perlu bertanya sebab di sini dapat ditimbulkan pertanyaan; Dalam hal apa? Kalau dalam hal konflik/sengketa antara Indonesia-Belanda, maka kita merasa yakin itu pasti. Tapi jika menyamakan, maka itu tidak berdasar. Sebab alasannya dalam zaman Hindia Belanda ada tiga hukum, untuk penyederhanaan golongan manusia dari istilah stratifikasi sosial diatas tadi.


Stratifikasi sosial sesungguhnya pembagian class, class manusia. Sehingga ada tiga stratifikasi sosial juga klasifikasi penerapan hukum pada warganya yang dianut oleh Hindia Belanda, implikasi tidak lansung dari cara pandang distkriminatif Belanda dalam konteks sosial masyarakat penduduk Hindia Belanda, atas warga jajahannya yang kini bernama Indonesia itu.


Berdasarkan tipologi Belanda, ada tiga tipologi: Pertama, tipe penduduk manusia Belanda, dan jangan lupa juga ada Belanda "hitam" sebagai class utama bersama Belanda. Kedua, tipe penduduk class dua/menengah, adalah mereka yang utamanya menyediakan material kebutuhan Belanda dari Timur Asing yang terdiri dari golongan orang Thionghoa/Cina, Arab dan India sedikit Pakistan, dan Pribumi dari priyayi. Ketiga, adalah masyarakat kebanyakan umumnya saudara-saudara kita dari penduduk peribumi Indonesia.


Yang disebut belakangan adalah kelas masyarakat yang paling tidak diuntungkan pada zaman Hindia Belanda. Sehingga hampir-hampir sederajatnya disamakan atau di bawah derajat bukan manusia. Demikian perlakuan Belanda terhadap mereka ini yakni orang-orang Indonesia, jadi masih nenek moyang dengan Fortuna Anwar. Hal demikian tidak pernah terjadi pada orang Papua, bahkan orang Papua mengenakan pakaian yang sama yang dikenakan Belanda, sama-sama makan roti dalam satu meja dan kursi secara sederajat.
 
Kosmopolitanisme Papua

Sebelum orang Jawa tahu kulkas orang Papua sudah menggunakan kulkas, mesin cuci, alat pendingin ruangan. Mereka mengunjungi bioskop yang sama, mengunjungi mini market atau supermarket yang sama dengan Blonde (Belanda). Pada saat orang Indonesia tidak tahu apa itu Mall, mini market, Orang Papua menjadi sesuatu yang biasa di Holandia dan Manukwari. Orang Papua sudah mengkonsumsi berita liputan interternasional, sesuatu hal yang tidak bisa dinikmati rakyat biasa Hindia Belanda seorang pribumi Indonesia kala itu sudah dinikmati pribumi Papua di kota Manukwari dan Hollandia.


Karena itu Jos Sudarso digugurkan dan mati di Pulau Hendrik Island, Sudomo dan Suharto datang membawa pasukan tentara Indonesia invansi ke Papua Barat, banyak  prajurit Indonesia bawa angkut pulang ke Jawa, barang-barang milik orang Papua mulai dari celana Levis yang asli dan bagus, Sepatu, jam rolex, dan kulkas, alat pendingin ruangan, mesin cuci, mesin ketik (Jos Adijondro, 2001). 


Semua barang-barang modern belum dimiliki orang Jawa Indonesia zaman itu sudah biasa dimiliki orang Papua. Karena itu serdadu  Indonesia menjarah barang-barang milik orang Papua peninggalan Belanda. Orang-orang Papua nonton sambil menertawakan tentara Indonesia berkelakuan mirip “tarzan”  tapi juga sangat memalukan, karena baru kenal kulkas dan mesin cuci.


Dalam pergaulan sehari-hari bagi orang Papua sangat biasa dan lebih berperadaban modern ketimbang orang Jawa Indonesia yang back county-an pada tahun 1960-an. Orang Papua berinteraksi dengan Belanda, Cina, Arab dan Melayu-Asia secara sangat biasa, kepribadian mereka kala itu terbentuk orang berperadaban metropolis. Hal demikian sangat berbeda -kala itu sampai hari ini masih ada- seperti umumnya orang Jawa Indonesia, “kampungan” nonton dengan mata melotot jika melihat orang Papua metropolis. Hal ini terutama banyak terjadi tahun 1970-an di kota-kota besar dan di sejumlah diskotek ibukota. Maka tidak heran tahun 1970-an seorang pemuda Papua bawa kencan di Mess Cenderawasih Kebun Kacang Tanah Abang seorang gadis pramugari GIA (Garuda Indonesia Air Ways).


Umumnya orang Jawa-Indonesia baru bersentuhan dengan unsur-unsur modernisme secara dekat baru sekarang ini. Sama halnya Indonesia baru tahu demokrasi dan peradaban modern sehingga sulit menyesuaikan diri dengan kehidupan modern setelah merdeka, sesuatu yang sudah tidak asing dan biasa bagi orang Papua sejak tahun 1930-an sampai 1960-an. Indonesia karena baru berjumpa dengan orang dari suku lain, terutama dari Papua, yang biasa terjadi selama ini, sikapnya adalah kaku.


Apalagi wacana demokrasi, HAM, kecuali baru belajar dari Barat-Eropa dalam tahun 1990-an dan 1980-an akhir -akhir ini saja jadi tema populer. Maka tidak heran bagi kita PEPERA 1963 di protes seorang anggota delegasi utusan UNTEA dari Amerika Latin karena bukan saja penuh manipulatif ala Indonesia tapi dilaksanakan cara sederhana budaya musyawarah mufakat padahal semestinya menggunakan sistem one man one vote (sistem satndar internasional) yang bagi orang Papua sangat sanggup.


Orang Papua menertawakan prajurit Jawa kampungan yang tidak kenal peradaban mencuri, barang-barang modern dan mewah milik orang Papua dibawa pulang ke Jawa, yang bagi orang Papua biasa-biasa saja zaman itu, dan menyaksikan “tarzan-tarzan” yang baru mengenal apa itu jam rolex, mesin pendingin ruangan, kulkas dan mesin cuci dihadapan orang-orang berperadaban modern dan bermetalitas kosmopolit zaman itu.
 
A. Kesimpulan

Demikian pembagian golongan dalam penerapan hukum yang juga sangat diskriminatif antar tiga golongan manusia dalam tatanan sosial politik Hindia Belanda. Hal ini berbeda misalnya dengan perlakuan Belanda pada orang Papua dan Ambon, maka ada istilah penduduk bumi putera (demikian, sebutan Belanda bagi penduduk asli indonesia zaman itu). Orang-orang Bumi putera ini menyebut Belanda dengan sebutan Londe. Tapi ada Londe "hitam" yang terdiri dari orang-orang Ambon yang bukan beragama Islam, dan Papua termasuk "Belanda hitam" dalam pandangan Bumi putera.


Karena itu perlakuan Belanda terhadap negeri jajahannya yakni penduduk Indonesia dalam negeri mereka yang terdiri dari kepulauan dari yang paling Barat hingga di Timur sampai di Maluku saja, tidak sampai Papua, diperlakukan sama seperti bukan lagi sedikit sekali martabatnya di atas hewan, tapi mungkin lebih tepat dikatakan di bawah hewan. Sama seperti nasib negro Amerika atau Apartheid di Afrika Selatan dulu.
Jika ditelusuri secara demikian maka yang terbelakang itu sesungguhnya orang-orang Indonesia. Karena mereka baru mengenal peradaban, secara amat terlambat, apalagi mengenal kehidupan metropolis dalam tahun 90-an dan 2000-an akhir-akhir ini saja. Hal demikian sangat berbeda dengan orang Papua yang dapat kawin-mawin dengan seorang gadis Belanda dengan pemuda Papua sesuatu hal yang tidak dapat dibayangkan dapat terjadi di Indonesia terutama di kalangan orang Jawa.

Sumber penulis: Ustadz Ismail Asso

Laporan:muis

Post a Comment

Previous Post Next Post