JAKARTA,METRONEWSTV.COM Merasa dirinya benar adalah hak semua orang. Akan tetapi jika hal itu berlebihan dan merasa benar sendiri, bahkan sempurna maka akan berbahaya, baik terhadap dirinya sendiri maupun juga terhadap orang lain. Siapapun sebenarnya selalu berada pada proses, yakni proses menuju kesempurnaan. Tidak ada orang yang sempurna, terbebas dari sifat lupa dan salah. Kata ustadz Yahya waloni, Masjid suda kelapa Menteng (21/8/2022)
Setiap hari orang diwajibkan menjalankan shalat lima waktu. Dalam shalat itu ada doa yang harus dibaca, yaitu agar diberi petunjuk. Kalimat itu berbunyi : 'Ihdinas Shiraathal mutaqiem.' artinya tunjukilah kami ke jalan yang benar. Memahami bunyi doa itu, seharusnya siapapun masih merasa memerlukan petunjuk. Atau dalam kata lain, yang bersangkutan seharusnya memposisikan diri pada keadaan terbuka, atau tidak tertutup rapat oleh karena sudah berada atau menjadi yang paling benar.
Dalam ajaran Islam, hanya nabi saja yang maksum, artinya terjaga dari kesalahan. Manusia lainnya, siapapun orangnya, masih berpeluang untuk melakukan kesalahan dan lupa. Kesalahan itu bisa terjadi pada hati, ucapan, dan bahkan juga perbuatan. Memelihara hati bukan pekerjaan mudah. Seseorang tanpa sebab menduga orang lain berbuat salah, berprasangka buruk, membenci, hasut, dan semacamnya. Perbuatan itu adalah salah dan bisa saja muncul dari hati seseorang, tanpa disadari.
Suasana batin atau hati itu berlanjut pada perbuatan lisan. Dengan mudah mengatakan bahwa orang lain berbuat salah, menyimpang, bodoh, dan atau merugikan. Mengeluarkan perkataan, yang sesungguhnya tidak perlu, sedemikian mudah bagi siapapun, sehingga tidak terasa dan atau tidak disadari oleh yang bersangkutan. Padahal mengatakan yang demikian itu adalah salah, merugikan diri sendiri, dan bahkan akan mencelakakan orang lain.
Tidak saja hati dan ucapan salah yang seringkali mudah dilakukan oleh seseorang, tetapi juga perbuatan. Dikiranya orang lain salah, padahal kekeliruan itu justru ada pada dirinya sendiri. Hal demikian itu terjadi oleh karena dirinya sendiri telah merasa benar dan bahkan paling benar. Perasaan paling benar itu anehnya juga terkait dengan kegiatan agama. Misalnya, seseorang merasa bahwa shalatnya, puasanya, zakatnya, dan lain-lain sudah paling benar. Padahal shalat itu harus dilakukan dengan khusu', dan hingga sampai pada tingkat khusu', bagi siapapun, sebenarnya bukan perkara mudah.
Mungkin saja bacaan dan gerakan shalat seseorang sudah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh gurunya. Tetapi bukankah shalat itu seharusnya sempurna, yaitu menyangkut perbuatan hati, ucapan, dan gerakan jasmaninya. Sekedar membenarkan ucapan dan gerakan yang seharusnya dilakukan, kiranya tidak terlalu sulit. Namun sebaliknya, menata hati agar benar-benar bahwa apa yang disuarakannya sampai pada sasaran yang dituju adalah bukan perkara mudah. Menyadari hal itu semua, kiranya tidak tepat jika seseorang merasa paling benar sendiri. Seharusnya, semua merasa sedang berada pada jalan menuju kebenaran, atau memperoleh kasih sayang Allah dan Rasul-Nya.
Perasaan bahwa dirinya sendiri belum berada pada tingkat sempurna dan menyadari masih banyak kekeliruan itulah yang menjadikan orang lain tidaklah tepat dihakimi sesat. Seharusnya, diajak saja secara bersama-sama memperbaiki diri sendiri. Pekerjaan memperbaiki diri sendiri ternyata tidak sederhana dan juga tidak mudah. Itulah sebabnya, Islam mengajarkan agar menjaga diri sendiri dan keluarganya harus dilakukan terlebih dahulu sebelum mengajak orang lain. Terasa kurang tepat, ketika dirinya sendiri belum selesai dan apalagi sempurna, sudah terlalu jauh menyesatkan orang lain. Wallahu a'lam
Laporan.Jhony
Post a Comment